Bertualang Dan Pulang
Lekaslah berkemas, pergi meninggalkan tanah kelahiran.
Resah di dada berada antar takut dan kekhawatiran.
Seorang petualang yang selalu menyimpan sepinya sendiri.
Namun, dari sudut semesta suara menggema memanggilmu bertualang.
Mengajakmu untuk berani melangkah,
Mengajakmu untuk berani mengarungi savana luas yang membentang.
Seketika senja redup dibawa pergi sang cakrawala.
Kau tersesat disemesta luas, kau diselimuti kegelapan malam.
Inilah dimensi. Ketika semesta gulita tanpa lentara.
Terasa sangat takut, takut, dan gundah-gulana.
Kemudian kau. Menatap hari panjang dibalik tirai ilusimu.
Namun, tertidur bukanlah jawaban untuk lari dari kenyataan.
Disaat mereka telah terbang mencapai kaki langit.
Kau, terpaku mengharap jawaban hadir dalam anganmu.
Cukup sudah. Tersesat disemesta nan luas itu.
Seberapa jauh kau telah kehilangan arahmu.
Seberapa jauh kau telah kehilangan langkahmu.
Jangan hentikan langkah ceritamu, rencanamu,
dan juga mimpi-mimpimu.
Kini, teriakan yang menggema itu di peluk semesta.
Jeritan kesedihan yang hilang ditelan cakrawala.
Jiwa yang tersesat disudut semesta.
Memanggil seruan dangan sebuah jawaban.
Jawaban, yang kau temukan dari kompas tua itu.
Sekarang. Arah mata angin membawamu kearah yang sebenarnya.
Pergilah,pergilah, sejauh mungkin dan menjadi pulang.
Yang kau sebut rumah.
Hati Yang Mati
Pagi datang menyeruak, kabut datang menutupi.
Aku kembali.
Memenuhi ruang sebagai rasa yang hilang.
Menyulam waktu tak berdentang dari sepi ke sepi.
Menerjang kabut semu, walau jarak pandang tak mampu melihat.
Menebarkan aroma tak bernama.
Menebarkan gigil tak bernyawa.
Mencoba bernafas dalam deru riak yang menyesakkan.
Dengan ramai yang membungkam dan sepi yang mencekam.
Dan, Di situlah aku.
Membalut rangka dalam duka yang menyayat.
Menerima walau susah diterima.
Menjadi rindu yang hanya segumpal
tumpukan rasa yang tidak beraroma.
Dicekik dengan detik yang berjalan.
Ditikam dengan bungkam yang kemudian menghilang.
Dan, Di situlah aku.
Mencoba hidup dengan,
kondisi hati yang telah mati.
Mencoba hidup dengan,
kondisi hati yang telah mati.
Memulangkan Balas Budi
Pada pagi yang menyengit dicengkam dingin.
Udara yang semakin dingin menembus rusuk.
Mentari yang bergejolak hanya menjadi pajangan pada kaki langit.
Hangat hanya pembual lara dalam dingin.
Kau, terbangun dan merangkak.
Dedaunan yang menguning jatuh kebumi semesta.
Menandakan musim gugur hampir usai.
Lama, lama, terasa sudah sangat lama.
Kau mengembara.
Melawan dingin yang menyengit dan panas yang mencekam.
Kemudian. Teragak satu nama dalam pikiranmu.
Nama yang selalu merapal doa dan tak henti mencinta.
Sejak hayat masih dikandung badan,
Sampai kau menatap bumi semesta.
Mengajarimu arti kehidupan.
Membimbingmu agar kau tidak terjatuh.
Membelikanmu baju baru, sepatu baru,
dan juga mainan kesukaanmu.
Yang walau sudah menjadi kusam dan rusak.
Akan teringat dalam ingatan panjang.
Sehangat-hangat mentari menumpah ruah membakar bumi.
Tak akan bisa mengalahkan pelukan yang ada dibumi.
Kau. Tetap tersenyum lepas menyambut kembalinya sang
Cahaya mata.
Dengan tangisan kebanggaan jatuh membasahi bumi.
Kelak. Saat tubuhmu mulai rungkuh,
Bolehkah aku memulangkan balas budimu.
Walau, kesanggupan tak mampu menyaingi. Sebab. Aku merasa nyaman berada di dekapanmu IBU.
_Ashabul Kafri
No comments:
Post a Comment